Menurut James O.
Wittaker dalam Soemanto (2003) belajar dapat didefinisikan sebagai
proses di mana tingkah laku ditimbulkanjnatau diubah melalui latihan dan
pengalaman, “Learning may be defined as
the process by wch behavior originates or is altered through training or
experience”. Uno (2011:22) menjelaskan
bahwa “ belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara
keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya”. Pendapat tersebut terdapat perubahan perilaku yang
terjadi dalam belajar, hal ini sependapat dengan Rifa’I dan Anni (2011:82), belajar mengandung tiga unsur
utama, yaitu sebagai berikut.
(1) Belajar
berkaitan dengan perubahan perilaku. Untuk mengukur apakah seseorang telah belajar, maka diperlukan perbandingan
antara perilaku sebelum dan setelah
mengalami kegiatan belajar. Apabila terjadi perbedaan perilaku, maka
dapat disimpulkan bahwa seseorang telah belajar. Perilaku tersebut dapat
diwujudkan dalam bentuk perilaku tertentu, seperti menulis, membaca, berhitung.
(2) Perubahan
perilaku itu terjadi karena didahului oleh proses pengalaman. Perubahan
perilaku karena pertumbuhan dan kematangan fisik, seperti tinggi dan berat
badan, dan kekuatan fisik, tidak disebut sebagai hasil belajar.
(3) Perubahan
perilaku karena belajar itu bersifat relatif permanen. Lamanya perubahan yang
terjadi pada diri seseorang adalah sukar untuk diukur. Biasanya perubahan
perilaku dapat berlangsung selama satu hari, satu minggu, satu bulan, atau
bahkan bertahun-tahun.
Dari beberapa
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang dapat mengubah sikap dan tingkah
laku seseorang kearah kemajuan yang lebih baik.
Belajar dapat terjadi jika ada kegiatan pembelajaran. Konsep
pembelajaran menurut Corey (1986:195) dalam
Sagala (2014: 61) adalah suatu proses dimana lingkungan seorang secara disengaja
dikelola untuk memungkinkan turut serta
dalam tingkah lau tertentu dalam kondisi- kondisi khusus atau menghasilkan
respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dalam
pendidikan. Sedangkan menurut Schunk
(2012: 5) pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama dalam perilaku,
atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang hasil dari
praktikatau bentuk- bentuk pengalaman lainnya.
Adapun kriteria-
kriteria pembelajaran menurut Schunk adalah sebagai berikut:
1)
Pembelajaran
melibatkan perubahan
Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan dalam
perilaku ataupun dari kapasitas perilaku. Perubahan dalam berperilaku dapat
dilihat dari apa yang diucapkan, dituliskan, dan dilakukan seseorang. Perubahan
berperilaku ini didasarkan pada
kapasitas perilaku karena orang tidak bisa mempelajari suatu
ketrampilan, pengetahuan, keyakinan, atau perilaku tanpa mempraktikannya pada
saat pembelajaran sedang berlangsung.
2)
Pembelajaran
bertahan lama seiring dengan waktu
Perubahan perilaku yang bertahan lama disebut
pembelajaran. Perubahan-perubahan perilaku yang dipicu oleh faktor-faktor
seperti obat- obatan, alkohol, kelelahan yang bersifat sementara tidak disebut
dengan pembelajaran.
3)
Pembelajaran
terjadi melalui pengalaman
Pengalaman yang diperoleh dapat melalui
praktik, atau pengamatan. Praktik yang dilakukan atau pengamatan yang dilakukan,
interaksi dengan orang lain dapat
mendatangkan pengalaman.
Dari beberapa
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah
suatu proses dimana lingkungan seorang secara disengaja dikelola
untuk memungkinkan terjadi perubahan perilaku individu yang bertahan lama
melalui pengalaman.
Dalam dunia pendidikan, pembelajaran
adalah proses mencari pengetahuan melalui interaksi antara guru, siswa dan
lingkungan. Sedangkan proses
pembelajaran adalah proses yang mampu menggali kemampuan siswa, membangkitkan
keterlibatan aktif siswa, dan memberi pengalaman belajar .
Pengalaman belajar siswa dapat diperoleh dari proses belajar (learning process) yang terdiri dari mengolah informasi,
membangun koneksi menjadi informasi dan mengintegrasikan dengan pengetahuan
awal, dan hasil akhirnya yaitu mengkontruk pengetahuan serta melakukan
penyadian pengetahuan ke memori jangka panjang.
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
|
v|
|
|||
Gambar
1. Proses Belajar (Learning Process)
Dalam proses belajar siswa ( learning process), tahap dimulai dari
informasi yang masuk dan dapat diterima oleh indra (sense register). Hal ini berkaitan dengan persepsi yang merupakan
tahap pertama dari proses kognitif
sehingga informasi yang didapatkan dapat mempengaruhi perilaku.
Selanjutnya informasi masuk ke tahap sensor
memory dan terjadi seleksi informasi yaitu informasi yang perlu di proses
lebih lanjut atau informasi yang tidak diproses lebih lanjut/dilupakan (forgotten). Informasi yang lolos dalam
seleksi diproses lebih lanjut, ke dalam working
memory, dalam working memory informasi
diorganisasikan kemudian dihubungkan/ mengkoneksikan dengan pengetahuan yang
sudah ada dengan memanggil kembali (retrieval/
recontruction) dari long term memory). Retrieval/ recontruction dapat terjadi
dengan otomatis ataupun tidak, hal ini dipengaruhi oleh intensitas pengetahuan. Selanjutnya
informasi yang sudah dikonrksikan menghasilkan informasi yang lebih kompleks
kemudian disandikan lagi sehingga dapat masuk
ke long term memory sebagai informasi baru yang lebih kompleks
yang nantinya menjadi pengetahuan dasar (prior knowledge/ schema ). Ketika
informasi yang didapat dirasa belum sesuai atau terjadi disequlibrium maka akan terjadi patern
recognition yaitu proses penggunaan informasi lampau atau pengetahuan dasar
untuk menyusun persepsi kembali (attention
perception). Selanjutnya masuk ke tahap working
memory untuk dapat disandikan kembali ke dalam long term memory. Setelah mendapatkan informasi baru maka munculah
perhatian yang merupakan langkah awal untuk menetukan perilaku yang dihasilkan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat
terlihat jelas bahwasannya proses pengkoneksian informasi baru dengan
pengetahuan yang sudah ada sangat penting dalam proses pembelajaran. Sehingga
diperlukan pembelajaran yang mampu mengkoneksikan informasi baru dengan
pengetahuan yang sudah ada sehingga terkonstuks/ terbentuklah pengetahuan baru
yang dapat tersimpan dalam jangka waktu lama di long term memory. Berkaitan dengan hal di atas pembelajaran
bermakna sangat mendukung agar proses
belajar dapat berjalan dengan baik.
Pembelajaran
bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seorang. Struktur kognitif ialah
fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari
dan dingat siswa. Pembelajaran bermakna ini disejalan dengan belajar
bermakna David Ausubel. Menurut Ausubel dalam Hudoyo (1998:62) bahan pelajaran yang dipelajari
haruslah “ bermakna” artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan
siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Menurut Ausubel dalam Dahar (2011: 94) bahwasanya siswa dalam belajar dapat
diklasifikasikan menjadi dua dimensi dapat dilihat pada Gambar 2. Bentuk-
bentuk Belajar dibawah ini.
.
|
|
|
|
|
|
Gambar
2. Bentuk- bentuk Belajar
Dimensi yang pertama mengenai
penyajian materi pelajaran untuk siswa, yaitu melalui penerimaan atau penemuan.
Penyajian materi secara penerimaan, artinya materi disajikan dalam bentuk
final. Siswa tidak difasilitasi untuk mencari, menemukan sendiri. Siswa hanya difasilitasi
untuk bertanya jika belum mengerti mengenai materi pelajaran yang disampaikan.
Proses selanjutnya adalah siswa
menghafal materi yang sudah diterimanya. Berbeda dengan penyajian materi secara
penemuan. Guru menyajikan materi dengan metode- metode tertentu yang dapat
mengaktifkan siswa untuk menemukan sendiri materi yang disajikan dengan
bimbingan guru. Guru menyiapkan pembelajaran dan membimbingan siswa untuk
mencari, menemukan materi yang dipelajari melalui bahan ajar yang mendukung.
Setelah siswa menemukan materi dengan bimbingan guru maka proses selanjutnya
adalah siswa menghafal materi yang sudah diperoleh sama dengan proses pada
penyajian materi secara penerimaan.
Dimensi yang kedua yaitu mengenai
cara bagaimana siswa mengaitkan atau menghubungkan materi yang sudah diperoleh
dengan struktur kognitif yang telah ada., hal ini terjadi belajar bermakna.
Akan tetapi siswa juga dapat mencoba- coba menghafal informasi baru itu tanpa
menghubungkan dengan struktur kognitif yang telah ada, dalam hal ini terjadi
belajar menghafal.
Pada dimensi dua inilah pembelajaran
harus dapat disusun disajikan dengan tepat, agar siswa dapat memahami materi
dengan bermakna. Menurut Dahar (2011) mengemukakan dua prasyarat terjadinya
belajar bermakna, yaitu:
(1)
Materi
yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial
Materi bermakna secara potensial artinya materi harus
memiliki kebermaknaan logis, dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat
dalam struktur kognitif peserta didik. Sehingga sebelum menyajikan materi guru
harus mencari tahu terlebih dahulu struktur kognitif yang sudah dimiliki oleh
siswa.
(2)
Anak
yang akan belajar harus bertujuan belajar bermakna
Sebelum pembelajaran dimulai Guru menyampaikan terlebih
dahulu tujuan yang akan dicapai. Agar siswa mempunyai kesiapan dan niat untuk
dengan pembelajaran.
Kedua
dimensi yaitu penerimaan/ penemuan dan hafalan/ bermakna merupakan suatu
kontimun yang dapat dijelaskan dengan Gambar 3. Dua Kontinum Belajar menurut
Novak (1985) dalam Dahar (2011: 95) dibawah ini.
Belajar Bermaka
|
Menjelaskan hubungan antara konsep- konsep
|
Pengajaran auditorium yang
baik
|
Penelitian Ilmiah
|
|
Penyajian melalui ceramah
atau buku pelajaran
|
Kegiatan laboratorium sekolah
|
Sebagian besar penelitian
rutin atau produksi intelektual
|
Belajar Hafalan
|
Daftar Perkalian
|
Menerapkan rumus- rumus untuk
memecahkan masalah
|
Penemuan dengan coba- coba
|
|
Belajar Penerimaan
|
Belajar Penemuan
Terpimpin
|
Belajar Penemuan
Mandiri
|
Gambar
3. Dua Kontinum Belajar Menurut Novak (1985) dalam Dahar (2011: 95)
Berdasarkan Gambar di atas dapat
dilihat kontimun mendatar dari kiri belajar peneriamaan berkurang dan semakin
ke kanan belajar penemuan bertambah. Sedangkan kontium vertikal dari bawah ke
atas belajar hafalan semakin berkurang dan pembeljaran bermakna semakin
bertambah. Hal ini menunjukan bahwa belajar hafalan dan belajar bermakna
berbeda, dan belajar penerimaan dapat dibuat menjadi belajar bermakna dengan
cara- cara tertentu. Menurut Ausubel (1963) dalam Dahar (2011: 98)
faktor-faktor utama yang mempengaruhi
belajar bermakna ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan
pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Ausubel
menggemukakan tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu: informasi yang
dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat, informasi yang dipelajari secara bermakna
memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip, informasi
yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun
telah terjadi lupa.
Pembelajaran bermakna erat kaitannya
dengan teori konstruktivisme pemikiran Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini
memandang bahwa peningkatan pengetahuan merupakan hasil konstruksi pembelajaran
dari pemelajar. Belajar bukan semata pengaruh
dari luar, tetapi ada juga potensi dari dalam individu yang belajar dalam mengkonstruks/
menyusun pengetahuan yang diperolehnya. Meskipun dua tokoh ini memiliki pandangan
yang sama, akan tetapi memiliki beberapa perbedaan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Perbedaan Pandangan :
Piaget
|
Vygotsky
|
Pentahapan kognitif
anak berdasarkan umur yang
kaku
|
Setiap tahapan kognitif
terdapat perbedaan kemampuan anak
|
Perkembangan kognitif anak
sebagai manusia individu yang
mandiri
|
Perkembangan kognitif anak
sebagai makhluk sosial, dan
merupakan bagian integral dari masyarakat
|
Potensi diri anak sebagai
skemata
|
Potensi diri anak “Zone of Proximal Development”
|
Menurut Thobroni (2011: 108) teori
kontruktivisme memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan
sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi. Dari beberapa uraian di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa teori kontruktivisme memandang bahwa pengetahuan
yang diperoleh oleh pembelajar tidak hanya pengaruh dari luar akan tetapi
merupakan hasil kontruksi dalam diri pembelajar sendiri.
Proses siswa dalam mengkontruksi/
menyusun pengetahuan dari informasi baru dalam perkembangan kognitif dapat dilihat
dapat digambarkan oleh Teori Piaget yang terdiri dari skema, asimilasi,
akomodasi. Lebih rinci proses perkembagan kognitif Piaget dijeaskan sebagai
berikut:
1)
Skema
Piaget
menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai skemata (schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat
mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya
skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi
individu dengan lingkungannya. Sehingga individu yang lebih dewasa memliki
struktur kognitif yang lebih lengkap dari pada ketika ia masih kecil. Dapat
dikatakan bahwa skema merupakan pengetahuan yang sudah dimiliki seorang
individu. Teori skema mempunyai tujuan bahwa pengetahuan diorganisasikan dalam menggambarkan
sesuatu yang kompleks (Bruning, 2011: 48).
2)
Adaptasi
Merupakan
cara anak untuk meyesuaikan skema sebagai tanggapan atas lingkungan. Adaptasi
ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu:
a.
Asimilasi
Asimilasi
adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi merujuk pada memahami pengalaman baru berdasarkan skema
yang sudah ada. Seorang individu dikatakan melakukan proses adaptasi melalui asimilasi,
jika individu tersebut menggabungkan informasi baru yang dia terima kedalam
pengetahuan mereka yang telah ada. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema,
melainkan memperkembangkan skema.
b.
Akomodasi
Akomodasi
terjadi ketika individu dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru, tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai. Akomodasi merujuk pada mengubah
skema yang telah ada agar sesuai dengan situasi baru. Individu dikatakan akomodasi
jika individu menyesuaikan diri dengan informasi
baru dengan
cara membentuk skema baru yang dapat
cocok dengan rangsangan yang baru atau dengan memodifikasi skema yang ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu. Melalui akomodasi ini, struktur kognitif yang sudah ada
dalam diri seseorang mengalami perubahan sesuai dengan rangsangan-rangsangan
dari objeknya.
c.
Equilibrasi
Merupakan
proses memulihkan keseimbangan antarapemahaman sekarang dan pengalaman baru. Equilibrasi
diartikan sebagai kemampuan yang mengatur dalam diri individu agar ia mampu
mempertahankan keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya atau
dengan kata lain mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi.
Proses Perkembagan Kognitif Piaget dapat
digambarkan sebagai berikut:
Seorang
individu sudah mempunyai skema atau pengetahuan awal, ketika berinteraksi dengan lingkungan maka individu akan
memperoleh pengetahuan baru. Terjadi asimilasi setelah individu mampu
penggabungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada/ skema. Dengan konsep yang sudah dimiliki individu,
individu memproses pengetahuan barunya tersebut. Tidak berhenti sampai disitu,
individu selalu berusaha untuk mendapatkan keseimbangan antara pemahaman yang
sudah dimiliki dengan pengetahuan baru karena terjadi ketidakseimbangan
(disequilibrasi). Individu selalu belajar guna mencari atau memperoleh
informasi baru untuk mencapai keseimbangan (equilibrasi). Ketika sudah terjadi
equilibrasi maka diperoleh pengetahuan baru untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungan dengan tetap mempertahankan skema yang sudah dimiliki.
Berkaitan
dengan pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika aslahupaya sadar yang
diselenggarakan untuk memfasilitasi siswa memahami konsep, prosedur, dan
penerapan matematika (Retnowati, 2016: 1). Beberapa prinsip kontruktivis yang
digunakan menurut Middleton & Goepfert (1996) dalam Santrock (2014: 101)
adalah sebagai berikut:
1)
Membuat
matematika realistik dan menarik.
Membangun pembelajaran matematika di sekitar masalah yang
realistis dan menarik. Masalah ini mungkin melibatkan beberapa jenis konflik,
ketegangan, atau krisis yang memunculkan minat siswa.
2)
Pertimbangkan
pengetahuan siswa sebelumnya
Membuat cukup informasi yang tersedia bagi siswa untuk
dapat membuat sebuah metode untuk memecahkan masalah matematika, tetapi menahan
informasi yang cukup bahwa siswa harus meregangkan pikiran mereka untuk
memecahkan masalah
3)
Membuat
kurikulum matematika interatif secara sosial
Membangun peluang kurikulum untuk penggunaan dan
meningkatkan keterampilan komunikasi mereka. Sehingga menghasilkan proyek
matematika yang melahirkan diskusi, argumen, dan kompromi.
Melihat uraian
di atas bukan hal yang praktis untuk dapat menciptakan kondisi siswa dapat
mengkontruks pengetahuan dengan efektif yang menghasilkan pemahaman yang
bermakna. Berikut merupakan hal- hal yang perlu diperhatikan yang dapat menjadi
faktor yang mendukung pemahaman yang bermakna dan bagaimana mengkontrusk
pengetahuan secara efektif:
1) Pengetahuan Awal Siswa (Skema)
Pengetahuan awal siswa sangat mempengaruhi siswa dalam
mengkontruks pengetahuan dengan efektif yang menghasilkan pemahaman yang
bermakna. Guru harus dapat mengetahui
pengetahuan awal siswa untuk menentukan membelajaran selanjutnya, agar tercipta
pembelajaran bermakna sehingga siswa dapat mengkontruks pembelajaran dengan
efektif.
2) Muatan Kognitif
Menurut Sweller et all (2011 ) dalam Retnowati (2016)
dari aspek kognitif aktivitas belajar siswa untuk membangun pengetahuan
dipengaruhi oleh besarnya muatan kognitif (cognitive
load ). Muatan kognitif terdiri dari intrinsic
cognitive load dan extraneous
cognitive load. Intrinsic cognitive
load yaitu muatan kognitif yang dihadirkan oleh isi bahan pembelajaran. Isi
bahan/ materi matematika mempunyai
komplekstitas yang berbeda, yaitu ada
yang kompleks ada juga yang sederhana. Oleh sebaba itu, snagan penting bagi
guru untuk menguasai struktur pengetahuan matematika sehingga dapat menentukan
tingkat kompleksitas bahan pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas siswa.
Sedangkan extraneous cognitive load
yaitu muatan kognitif yang ditentukan oleh penyajian materi pembelajaran.
Beberapa prinsip untuk meminimalisir extraneous
cognitive load adalah dengan memberikan
petunjuk yang baik dan jelas (provide
clear guidance), menghindari fokus siswa menjadi terpecah (avoid split attention effect), dan menghindari siswa mrngolah informasi
yang disajikan berlebih- lebihan (avoid redudanty
information ).
3) Design Pembelajaran
Design
pembelajaran yang digunakan harus sesuai. Metode pembelajaran yang digunakan harus didesain strategik dan inovatif (
Retnowati, 2016: 10). Strategik artinya metode pembelejaran yang digunakna
sistematik mengarah pada tujuan yang jelas (terukur), Sedangkan inovatif
artinyametode pembelajaran yang disusun selalu sesuai dengan karakteristik
kognitif siswa sehingga tidak monoton. Selain itu medel pembelajaran harus
dapat memfasilitasi siswa untuk aktif dan mengarahkan pembelajaran yang
bermakna, guru bertindak sebagai fasilitator. Media yang digunakan dalam
pembelajaran harus sesuai dengan materi. Media disini sebagai penunjang agar dapat
mendukung siswa dalam pembeljaran. Sehingga dengan media diharapkan siswa akan
lebih mudah mendapatkan apa yang diharapkan daridesign pembelajaran.
Contoh dalam ruang lingkup pembelajaran matematika adalah
pembelajaran menggunakan model Learning Cycle 7e untuk materi penyelesaian sistem persamaan dua
variabel. Model
Learning Cycle
7e yang merupakan suatu model
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) yang mengadopsi
dari prinsip konstruktivisme. Eisenkraft (2003)
menjelaskan kegiatan setiap fase/
tahapan
Learning Cycle 7e sebagai berikut:
Fase pertama dalam model pembeljaran Learning
Cycle 7e adalah Elicit
(Mendatangkan pengetahuan
awal siswa), dalam tahap ini pengetahuan apa yang
sudah
ada pada
siswa,
karena siswa mengkonstruksi pengetahuan dari
pengetahuan
yang ada, melalui pertanyaan- pertanyaan mendasar mengenai suatu
fenomena dalam kehidupan sehari- hari sebagai apersepsi terkait materi sistem persamaan dua variabel.
Fase yang kedua adalah Engage
(Ide, rencana pembelajaran dan
pengalaman ) siswa dilibatkan dalam kegiatan demonstrasi,
diskusi, eksperimen, membaca atau kegiatan lain terkait pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan pada fase Elicit, pada fase
ini siswa diajarkan untuk berhipotesis yaitu menyusun jawaban sementara dari
masalah yang akan mereka diskusikan.
Fase ketiga adalah Explore
(Menyelidiki), pada fase ini membawa siswa untuk memperoleh
pengetahuan dengan pengalaman langsung yang berhubungan dengan konsep yang akan
dipelajari. Guru
merangkai pertanyaan, memberi masukan, dan menilai pemahaman siswa terkait sistem persamaan dua variabel.
Fase keempat adalah Explain
( Menjelaskan), pada fase ini memberi
kesempatan pada siswa untuk menjelaskan hasil konsep-konsep dan
definisi-definisi awal yang mereka dapatkan ketika fase explore, kemudian membedakan dan mendiskusikan konsep dan definisi
yang mereka sudah diketahui dengan hasil konsep dari fase explore sehingga pada akhirnya menuju konsep dan definisi yang
lebih formal.
Fase kelima adalah Elaborate
(Menerapkan) Fase elaborate memberi kesempatan pada siswa untuk
menerapkan pengetahuan yang mereka temukan pada situasi baru,
Fase keenam yaitu Evaluate
(Menilai) terdiri dari evaluasi formatif dan evaluasi sumatif
(Aziz, 2013).
Fase yang ke tujuh
adalah Extend (Memperluas) bertujuan untuk membimbing siswa dalam berfikir, mencari,
menemukan contoh penerapan konsep yang telah dipelajari dengan mengaitkan
materi yang telah dipelajari dengan materi selanjutnya.
Dari uraian di atas dapat
dilihat bahwa dapat pembelaajaran dengan menggunakan model Learning
Cycle 7e membawa siswa dalam kegiatan
pembelajaran yang aktif, pembelajaran yang saling berkesinambungan untuk
menghubungkan informasi awal, informasi baru dan informasi yang akan
dipelajari. Dalam hal ini guru tidak boleh hanya memberikan pengetahuan kepada
siswa, akan tetapi lebih dalam hal pembimbingan/ fasilitator, siswa harus
membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri (Slavin, 2011: 3). Dengan
model pembelajaran ini maka akan tercipta kondisi siswa dapat mengkontruks pengetahuan dengan
efektif yang menghasilkan pemahaman yang bermakna.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses
belajar yang menghasilkan pemahaman yang bermakna adalah proses belajar yang
dapat mendukung siswa untuk mengkontruks pengetahuan dengan mengkoneksikan
informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada dengan efektif. Hal-hal yang
harus diperhatikan agar proses belajar ini dapat terwujud meliputi muatan
kognitif, pengetahuan awal siswa (skema), dan desain pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz,
Zulfani. 2013. Penggunaan Model
Pembelajaran Learning Cycle 7e Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Smp Pada
Pokok Bahasan Usaha Dan Energi. Skripsi. Semarang: FMIPA Universitas Negeri
Semarang.
Bruning, Roger H, Geogory J. Schraw, Monica M. Norby.
2011. Cognitive Psichology and
Instruction. Amerika: Library of Congress Cataloging.
Dahar, Ratna Wilis. 2011.Teori- teori belajar & Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Retnowati, Endah. 2016. Kajian Masalah Pembelajaran
Menengah Kejuruan dan Alternatif Solusinya. Artikel
Ilmiah.
Eisenkraft, A.
(2003). Expanding the 5E model : a Proposed 7E Model Emphasizes “ Tranfer
of learning”and the importance of Eliciting Prior Understanding. Journal the National Science Teacher
Association (NSTA), 70 (6): 56-59. Tersedia di http://emp.byui.edu/firestonel/
bio405/readings/learningmodels/exp anding5e. pdf
Rifa’I,
A., & Anni, C. T. 2011. Psikologi
Pendidikan. Semarang: UNNES PRESS.
Sagala,Syaiful.
2014. Konsep dan Makna Pembelajaran.
Bandung: Alfabeta.
Santrock, John
W.2014. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Salemba Humatika.
Schunk, Dale H.
2012. Learning Theories. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Silberman, Melvin
L. 2013. Active Learning. Bandung:
Nuansa Cendekia.
Slavin, Robert E.2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Indeks.
Soemanto, Wasty.
2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
PT RINEKA CIPTA.
Thobroni, Muhammad, dan Arif Mustofa. 2011. Belajar & Pembelajaran. Yogyakarta:
AR- RUZZ MEDIA.
Uno, Hamzah. 2011. Teori Motivasi dan Peng